Kamis, 22 Maret 2012

William James Sidis
Sebagian besar oran g mengenal Einstein, Da Vinci, maupun Edison sebagai orang jenius didunia. Namun , banyak yang kurang mengenal William James Sidis, padahal gelar tersebut juga layak baginya yang memiliki IQ pada kisaran 250-300.
               Ketidak wajaran Sidis diawali saat dia mampu makan sendiri menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usiannya yang belum genap 2 tahun, dia telah menjadi New York Times(koran harian yang diterbitkan di New York) sebagai teman sarapan paginya. Dia mampu menulis buku tentang anatomi dan astronomi sebelum usia 8 tahun. Di usia 11 tahun, dia telah diterima sebagai mahasiswa termuda di Harvard. Yang lebih dasyat adalah Sidis mengerti 200 jenis bahasa didunia dan mampu menerjemahkan dengan cepat dan mudah. Dalam sehari, dia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan.

               Di balik kesuksesannya tersebut, terdapat sang ayah yang berprofesi sebagai psikologi andal berdarah Yahudi. Ayahnnya bernama Boris Sidis, juga alumni dari Harvard. Dia menjdaikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru. Model ini digunakan untuk menyeranga sistem pendidikan konvensional yang baginya merupakan cikal bakal pembentukan kejahatan, kriminalitas , dan penyakit.
                Sayangnya, Sidis meninggal justru pada usia ketika seorang ilmuwan mencapai masa produktif. Sebuah usia yang tergolong muda, yaitu 46 tahun. Ironisnya, Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing, dan amat miskin. Banyak orang yang menilai bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia. Dia justru tersiksa karena popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika. Beberapa tahun sebelum Sidis meninggal, Sidis sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika.
               Kegeniusannya tidak seimbang dengan keberhasilannya dalam dunia sosial. Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan, ia sering diasingkan oleh rekan sekampus. Dia juga tidak pernah memilki seotang istri ataupun pacar. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Selanjutnya, ia memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengasingkan diri, dan bekerja dengan gaji seadanya. Ia meninggalkan kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah bentukan sang ayah. Ia menyadari bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain, bukan hasil dari keinginannya. Dia bukanlaj penentu jalan hidupnya. Ada keinginan kuat untuk lari dari sang ayah, untuk menjadi diri sendiri walaupun dia tahu dia tidak mempunyai kuasa apapun. Ia terlanjur menjadi publik figure yang menjadi bahan berita. Kemanapun dia bersembunyi, pers pasti bisa menemukannya. Pengaruh sang ayah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Kepopuleran ini menjadi semacam senjata atau bahkan bom waktu yang setiap saat dapat meledak dan bisa menghancurkan dirinya. Kebebasan benar-benar terampas.
               Ia nyaris menghilang, hingga pada akhirnya ditahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan satu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Pada usianya yang ke-39 itu, tamoaklah gambaran kondisi Sidis yang menyedihkan. Ia tinggal disebuah kamar yang kusam dan tak rapi. Bahkan, sigenius itu tampak kesulitan merumuskan kata-kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Bila ia temukan kata itu, ia bicara cepat, menganggukan kepalanya seperti sentakan untuk menandaskan apa yang dimaksudnya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi tertawa yang aneh. Ia mencoba untuk menjadi dirinya sendiri dengan memilih hidup miskin dan tak dikenal. Sangat mengharukan. Akan tetapi, ternyata ia tak mempunyai lagi hak untuk menentukan dirinya. Sejauh apapun ia berlari, dia sudah tidak memilikki kesempatan untuk memilih kecuali hidup dibawah bayang-bayang orang tuanya dan mengikuti jejaknya.
Pesan moral: Sarankanlah yang terbaik untuk anak, jangan paksakan.